The Jakmania, Tak perlu dihitung ada berapa banyak Jakmania didunia ini, tapi dari cara boikot mereka untuk mendukung Timnas memberikan andil untuk mengurangi jumlah “kesesakan” pendukung Timnas ketika lawan Qatar dalam pertandingan Pra Piala Dunia 2014. Stadion Utama Gelora Bung Karno lowong dibeberapa sisi, dan tak memenuhi bahkan separuh dari kapasitas yang diberikan PSSI, hal yang tak pernah terjadi sejak piala Asia 2007. Jakmania berontak bahkan untuk mendukung Timnas mereka menunjukkan idealismenya. Ketika PSSI tetap mensahkan Persija versi Hadi Basalamah, maka Jakmania takkan mendukungnya, bahkan kalau perlu merusak integritas Persija sekarang versi Hadi Basalamah.
Rapat 30 klub dibawah Persija dengan direktur utama Persija sudah digelar, hasilnya mereka menolak keberadaan PT. Persija Jaya pimpinan Hadi Basalamah. 30 klub tersebut merasa telah dibohongi oleh Hadi Basalamah. Tapi Persija versi PSSI sekarang tetap berlangsung dan menggelar seleksi pemain. Tak mendengar aspirasi klub-klub dibawah Persija yang menyatakan “Hanya Satu Persija, Persija yang diketuai Ferry Paulus”. Suara jutaan Jakmania juga tak terdengar bahkan oleh PSSI sendiri hingga kini.
PSSI yang sekarang tetap sama dengan pendahulunya, banyak kepentingan dan segala macam titipan, pembenaran akan satu hal yang terkadang diluar akal sehat dan bisa ditebak kelanjutan atas sikap PSSI, beberapa pihak membuat “kebisingan” untuk PSSI.
Alfred Riedl, menjadi “pembising” pertama akan PSSI hasil revolusi. Tanpa ada pemberitahuan, tiba-tiba namanya dilengser jadi pelatih PSSI. Alasan PSSI adalah kontrak yang dimiliki Riedl hanyalah bersifat personal, tidak secara kelembagaan. PSSI pun menunjuk Wim Rijbergen sebagai suksesor Riedl. Diawal ketika friksi masih terjadi dengan Riedl, duet Wim-RD mampu mengambil hati suporter Indonesia, lolos dari babak pra kualifikasi piala dunia melawan Turkemenistan membuat seantero negeri melupakan Riedl untuk sesaat. Tapi ketika Wim ditinggal RD, mulailah tangan dingin Wim membuat panas suporter Indonesia, kekalahan demi kekalahan di pra kualifikasi Piala Dunia ditambah keributan dengan pemain membuat jatuh kredibelitas seorang Wim dan membuat Riedl dirindukan kembali.
ANTV menjadi “pembising” berikutnya, kontrak hak siar liga dilanggar secara sepihak, kembali PSSI tak mempunyai tata krama dalam membuat sebuah keputusan yang bersifat legal hitam diatas putih. Keputusan cendrung bersifat arogan dan seperti membalas dendam atas tindakan dimasa lalu. Liga pun berganti nama dan pemegang hak siar, Liga menjadi Indonesian Premier League yang dimiliki hak siarnya oleh MNC. Tapi ANTV tak perlu meratapi atas keputusan tersebut, melalui 14 klub yang mendukung PT.LI, ANTV tetap memegang hak siar Liga Indonesia versi 14 klub (Liga Super Indonesia). Ya Liga Super Indonesia yang akan digelar 1 desember mendatang seperti anomali dari tindakan kubu PSSI yang dulu membekengi LPI, seperti de javu. Tapi tak perlu sungkan PSSI untuk melapor ke AFC dan FIFA karena PSSI yang dahulu juga melakukannya.
ExCo, PSSI juga dirong-rong dari dalam, melalui beberapa Komite Eksekutifnya yang menggugat plin-plan PSSI dalam menyusun format kompetisi. Para “pembising” dari pihak ExCo mulai meributkan format kompetisi dari dua wilayah, dan 24 tim. Banyak Argumen yang diajukan para ExCo yang vokal dari pelanggaran statuta dan lainnya. Sepertinya semua “kebisingan” tetap sengaja dihembuskan, namun entahlah siapa yang diuntungkan dari perseteruan ini.
Jimmy Napitupulu, Terakhir PSSI mendapat “kebisingan” dari wasit berlabel FIFA asal Indonesia. Jimmy Napitupulu merasa di zolimi setelah kehadirannya sebagai wasit di Sea Games dihilangkan oleh PSSI, padahal status Jimmy di Sea Games diperoleh melalui penunjukkan AFC.
Pertanyaannya sekarang apakah PSSI akan mengakomodasi semua kepentingan tanpa membedakan mana dahulu kawan dan lawan?